Menelusuri
asal-usul beladiri asli Indonesia ini memang cukup sulit. Sulit, karena
tulisan serius mengenai sejarah silat sama mengenaskannya seperti nasib
pencak silat itu sendiri: sangat jarang alias langka. Hanya ada dua
buah buku saja yang bisa dijadikan buku pegangan untuk para pesilat
maupun masyarakat luas, yaitu: “Pencak Silat Merentang Waktu,” (1999)
karya O’ong Maryono, seorang pesilat juara dunia dan “The Weapons and
Fighting Arts of Indonesia” (1977) karya Donn F Draeger, seorang
penulis sekaligus pemerhati bela diri dari barat.
Sejarah
pencak silat tidak mudah untuk ditelusuri, karena seni beladiri di
Indonesia ini dianggap kedua penulis buku diatas, sama tuanya dengan
sejarah manusianya. Tinjauan lebih mendalam dari segi prasejarah hingga
masa awal-awal sejarah dilakukan oleh Donn F Draeger dengan menelusuri
berbagai data dan artefak yang ditemukan dari berbagai situs prasejarah
di Indonesia. Draeger sangat serius melihat dan menganalisa
bentuk-bentuk artefak terutama senjata dari masa prasejarah dan awal
sejarah Indonesia. Sementara sebagai seorang pesilat, O’ong Maryono
lebih berusaha menelusuri sejarah silat dari para pelaku sepuh pencak
silat yang masih hidup. Tuturan lisan diandalkan O’ong Maryono sebagai
data lebih sahih tinjauan sejarah buku yang disusunnya.
O’ong
Maryono, nama aslinya adalah Sumaryono. Lahir di Bondowoso, Jatim pada
28 Juli 1953, sejak usia dini menekuni ilmu beladiri pencak tradisional
dari berbagai aliran. Tahun 1979-1987 Ia mempertahankan peringkatnya
sebagai juara nasional dan internasional pencak silat. Ia juga juara
dunia kelas bebas putra pada invitasi Internasional ke-1 (1982). Selain
silat O’ong juga mempertahankan predikatnya sebagai juara pertama tae
kwon do di kelas heavy weight nasional sejak 1982-1985. Kini ia mengajar
di Bangkok, Thailand.
Dalam
bukunya Draeger menuliskan bahwa pada saat bukunya disusun (medio
1970-an) senjata dan seni beladiri silat adalah tak terpisahkan dari
orang Indonesia. Silat bisa dilihat kebutuhannya bukan hanya dari
sekedar olah tubuh saja, melainkan juga pada hubungan spiritual yang
terkait erat dengan kebudayaan Indonesia.
Donald
Frederick Draeger ( 15 April 1922 – 20 Oktober 1982), pakar seni
beladiri Asia dan seorang marinir Amerika. Ia dikenal sebagai pakar
beladiri karena melakukan riset mendalam serta mempelajari langsung
banyak cabang beladiri jepang, korea dan Cina. Ia juga sempat menjadi
koreografer perkelahian dalam berbagai film laga aksi termasuk salah
satunya adalah seri James Bond, “You Only Live Twice” (1967) yang
dibintangi oleh Sean Connery.
Menurut
Draeger, pada masa Palaeolitik (sekitar 15.000 tahun sebelum masehi),
manusia primitif di Jawa yang dikenal dengan nama pithecantropus erectus
sudah mengenal tehnik perkelahian atau beladiri sederhana, yakni dengan
jurus tangan kosong atau dengan kembangan memakai senjata tongkat atau
batu. Drager mengemukakan teori ini dengan mengajukan temuan Tengkorak
Ngandong dan Wadjak yang ditemukan bersama peralatan batu sederhana
seperti kapak batu. Batu yang ditajamkan salah satu sisinya dengan cara
dipecahkan satu sama lain. Kapak batu genggam ini disebutnya sebagai
senjata sederhana dalam perkelahian maupun sebagai peralatan untuk
keperluan lainnya, seperti berburu ataupun mengolah makanan atau baju.
Pada
masa selanjut (Mesolitik dan Neolitik, 15.000 – 3.000 tahun sebelum
masehi), manusia primitif di lansekap nusantara mulai mengalami kemajuan
dengan memperhalus peralatan dan senjatanya. Draeger menduga, seni
beladiripun sudah mengalami kemajuan dari segi jurus akibat
diperhalusnya senjata kapak batu itu.
Masa
awal perunggu ditandai dengan masuknya budaya perunggu Dongson dari
Indocina. Bersama budaya ini, perubahan jenis senjatapun mulai mengalami
kemajuan pesat. Kepulauan Riau-Lingga-Anambas menjadi kunci bagi
penyebaran para imigran budaya Dongson ini. Melalui selat-selat di
kepulauan Riau inilah mereka menyeberangi daratan Asia menuju daratan
Sumatera. Tak sedikit dari mereka juga menetap di kepulauan ini dan
hidup diatas laut. Mereka ini dikenal dengan nama Suku Laut atau Orang
Laut. Daya jelajah orang laut ini tak terbatas, begitu juga perkenalan
mereka dengan berbagai suku bangsa Nusantara. Orang gaul begitulah
julukannya mereka ini, karena daya jelajah mereka hingga ke bagian Timur
Indonesia, sampai di Maluku. Asal usul masyarakat suku laut ini diduga
bisa ditemui di daerah pelabuhan di Timur Laut daratan Cina. Catatan
Cinadari dinasti Ching (221-206 Masehi) menjelaskan adanya tokoh bernama
Tan Chia (Tan-Kia, Tanka, Tonka, Dung China) yang bukan berasal dari
Cina. Tokoh ini disebutkan berhasil mencapai kedudukan jendral di
militer kerajaan Ching dan memiliki basis di pulau Hainan. Ia berhasil
bertahan dari upaya penaklukan Canton, namun setelah ia mangkat,
pengikutnya terpaksa mengungsi menggunakan perahu dan menjadi kelas
terbawah. Mereka dijatuhi hukuman tidak boleh menginjakkan kakinya di
pantai. Dinasti Tang meneruskan hukuman ini sehingga menjadikan mereka
warga pengembara di lautan atau kini dikenal dengan nama suku laut.
Carl
W. Bishop dalam catatannya menuliskan karakteristik masyarakat suku
laut ini sudah mengenal pola tanam padi (1000 tahun sebelum masehi),
budaya memakai perahu panjang, kayau (memenggal kepala orang), kapal
perang, tato di tubuh, tanaman racun dan senjata tajam (bentuk bilah
atau pisau/golok). Gambaran suku laut seperti inilah yang dianggap sama
dengan suku laut yang berimigrasi ke kepulauan nusantara pada awal abad
masehi.
Beberapa
kelompok migrasi terjadi sesudah penyebaran budaya penggunaan perunggu
diperkenalkan ke Tongking dan Utara Vietnam oleh pendatang dari Yueh
(Cina Utara). Budaya ini melahirkan kebiasaan membuat drum perunggu
(nekara) yang dikenal sebagai ciri khas budaya Dongson. Beberapa pisau
perunggu hasil budaya Dongson juga ditemukan tersebar di wilayah
Indonesia.
Suku
Laut ini dikenal sangat tangguh dimanapun. Mereka juga dikenal sebagai
perompak dilaut –walaupun ini juga masih kontroversi, karena pada masa
kemudian, kerajaan melayu malah meminta suku laut sebagai penjaga lautan
Riau dari perompak. Dari mereka inilah silat lalu diperkenalkan pada
masa-masa kemudian dan berkembang sebagai seni beladiri dari
masing-masing etnik di nusantara.
Di
masa klasik Indonesia, menurut Draeger, bukti adanya seni bela diri
bisa dilihat bukan saja dari berbagai artefak senjata yang ditemukan
dari masa klasik (Hindu-Budha) melainkan juga pada pahatan relief-relief
yang berisikan sikap-sikap kuda-kuda untuk silat di candi Prambanan dan
Borobudur.
Dalam
buku Pencak Silat Merentang Waktu, setelah persebaran silat dari
kepulauan Riau pada sekitar abad ke-7 masehi,silat lalu berkembang
sesuai kebutuhan, ekspresi masyarakat pendukungnya. Bukti soal teori
Draeger ini dirasakan kurang kuat karena tidak memiliki bukti sejarah.
Indikasi mengenai silat melayu di Sumatera baru terdapat dalam sastra
dari abad ke-11 masehi. Dalam Tambo Alam Minangkabau, sebuah buku adat
berisi kiasan, pepatah atau adat, diceritakan silat Minangkabau telah
dimiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri
Maharaja Diraja (1101 – 1149), seorang raja di kerajaan Parahiyangan
yang konon terletak di kaki gunung Merapi. Penasihat ini bernama Datuk
Suri Diraja atau Ninik Datuk Suri Diraja (1097 -1198). Beliau dikenal
sebagai orang cendekiawan yang menciptakan berbagai macam kesenian,
musik, tari dan juga silat. Ia lalu mengajarkan silat ini kepada 4
anggota pengawal sultan Sri Maharaja Diraja yang berasal dari Kuching
Siam (Thailand), Campa. Khmer dan Gujarat. Keempatnya sendiri sudah
memiliki ilmu silat masing-masing dan kemudian terjadilah akulturasi
silat yang melahirkan masing-masing aliran silat.
Namun
teori dari Tambo Alam Minangkabau sendiri juga cukup sulit dibuktikan
jika dibandingkan dengan kondisi faktual sejarah nusantara. Silat
sendiri secara logika dipakai untuk memenangi perkelahian jarak dekat
(full contact body) antara orang perorang atau kelompok orang dengan
kelompok lainnya. Pada masa sebelum dikenalnya senjata api sederhana (
senjata api mulai dikenal sejak dipakainya bubuk mesiu oleh bangsa Cina
dalam peperangan pada abad ke-9 masehi), pasukan militer kerajaan
ditentukan oleh kemampuan setiap anggota pasukannya dalam bertempur
jarak dekat dan jarak menengah (panah). Aksi militer di Indonesia
sendiri bisa dilihat dari prasasti Pasir Jambu dari masa Tarumanagara di
abad ke-4 Masehi yang terletak di Bogor Jawa Barat. Prasasti ini
terletak di puncak bukit Koleangkak, desa Pasir Gintung, kecamatan
Leuwiliang, Bogor. Prasasti ini berukiran sepasang telapak kaki dan
diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman
data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri
purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam –
padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam –
bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang
termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya
bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya
tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua
jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng
musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang
setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Tradisi
perang dalam wilayah Jawa Barat ini memang mengakar dalam, karena
wilayah Jawa Barat yang dikenal sebagai tanah Sunda adalah satu-satunya
wilayah yang tidak pernah dijajah saat masa sejarah klasik (pengaruh
Hindu-Budha), dimana kerajaan Sriwijaya dan Majapahit ganti berganti
menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara kecuali bumi Sunda. Tradisi
berperang ini melahirkan berbagai konsep strategi dan juga metode
memenangkan pertempuran yang bisa dilihat berabad-abad sesudah masa
Tarumanagara berdiri. Naskah dari masa kerajaan Sunda di abad ke-16,
Sanghyang Siksakandang Karesian menyebutkan taktik berperang bagi
pasukan Sunda.
Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian disebutkan, “Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti makarabihwa,
katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa,
sucimuka, brajapanjara, asumaliput, meraksimpir, gagaksangkur,
luwakmaturut, kidangsumeka, babahbuhaya, ngalinggamanik, lemahmrewasa,
adipati, prebusakti, pakeprajurit, tapaksawetrik, tanyalah panglima perang.” (Danasasmita, dkk., 1987).
Taktik
seperti adipati, adalah menyiapkan pasukan khusus yang mempunyai
kemampuan tempur mumpuni dalam hal ini adalah seni beladiri. Taktik
prebusakti adalah taktik membekali setiap prajurit dengan kemampuan
tenaga dalam sehingga senjata lebih berisi dan punya kekuatan
mengalahkan musuh secara luar biasa. Atau taktik Ngalinggamanik, atau
tehnik menguasai senjata pusaka atau senjata rahasia kerajaan.
Tulisan
ini bukan ingin menunjukkan bahwasanya silat sunda atau silat Minang
atau lainnya lebih unggul. Namun, redaksi warna ingin memberikan sedikit
gambaran bahwasanya ada kemungkinan lain: bahwasanya silat berkembang
di masing-masing daerah jauh sebelum budaya Dongson masuk ke nusantara.
4 komentar:
Pencak silat ITU sebenarnya barasal DaRI jawa timur.pada masa pandawa
Abad keberapa Pandawa hidup,Apakah sudah di namakan pencak silat ? Manusia purba jg sudah bila berkelahi serang bela. Jd asal usul pencak silat dr mana y ?
Silat itu berasal juga dari bela diri kalari payat, yakni tendangan lurus ke perut atau kemaluan ketika melompat! Untuk mengetahui bela diri kalaripayat, lihat di http://blueibas.blogspot.co.id/2015/03/kalari-payat-seni-bela-diri-hindu.html
Posting Komentar